www.GotQuestions.org/Indonesia



Apakah yang dimaksud oleh pemikir bebas?

Jawaban:
Pemikir bebas adalah orang yang mengklaim dirinya beropini berdasarkan logika, lepas dari tradisi, otoritas, atau kepercayaan yang sudah ada. Pada umumnya, pemikir bebas dihubungkan dengan sikap yang meragukan kebenaran agama. Pemikir bebas menggunakan lensa naturalis dan tidak mendasarkan moralitas mereka pada standar ilahi atau agamis.

Pemikir bebas menolak sistem kepercayaan baik agama maupun kepercayaan sosial. Yang menyatukan pemikir bebas bukanlah kepercayaan mereka, melainkan cara mereka mencapai konklusi tentang pemikiran bebas. Jika seorang pemikir bebas meyakini sesuatu karena ketika masih muda ia telah diberitahu sebelumnya bahwa itu benar atau jika pemikir bebas meyakininya karena hal itu memberinya harapan atau membuatnya bahagia, maka pikirannya tidak dianggap bebas. Namun jika ia meyakini sesuatu karena, setelah mempertimbangkannya, kepercayaan itu dianggap memiliki bukti yang kuat, maka pikirannya dianggap benar-benar bebas, meskipun kadang konklusi yang dicapai tidak masuk akal.

Hampir semua pemikir bebas percaya bahwa Allah itu tidak ada (meskipun ada beberapa penganut Deisme yang menganggap diri mereka pemikir bebas). Karena mereka naturalis, pemikir bebas menilai realita sebagaimana segala sesuatu yang dapat ditangkap oleh indra atau melalui logika. Mereka menolak berbagai bukti adanya Allah dalam dunia ini sebagai alasan yang kuat untuk percaya. Mereka juga menolak Alkitab sebagai pewahyuan Allah yang diberikan supaya manusia mengenal-Nya. Alkitab mengajar, “Orang bebal berkata dalam hatinya: ‘Tidak ada Allah’” (Mazmur 14:1; 53:1). Pemikir bebas mengabaikan perintah alkitabiah yang menghimbau “janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri” (Amsal 3:5) dan sifat mereka tepat digambarkan dalam Roma 1:22: “Mereka berbuat seolah-olah mereka penuh hikmat, tetapi mereka telah menjadi bodoh.”

Pemikir bebas percaya bahwa satu-satunya cara bebas adalah membuang segala takhayul, kitab suci, kepercayaan, mesias, atau kepalsuan lainnya. Bagi mereka, arti hidup dihasilkan oleh diri sendiri, karena arti berasal dari pikiran kita. Alkitab mengajar bahwa kebebasan sejati ditemukan di dalam Kristus (Yohanes 8:36). Manusia tidak dapat membebaskan diri. Manusia terikat oleh dosa sampai Yesus mentahirkan mereka dan mematahkan kuasa dosa dan kematian atas mereka (Roma pasal 6). Allah memberi semua orang kebebasan memilih kepercayaan, namun ini tidak berarti semua kepercayaan itu benar. Kebenaran obyektif itu ada, lepas dari keinginan kita mempercayainya atau tidak. Dengan anggapan bahwa ide mereka “mandiri dari Allah,” para pemikir bebas menyalahgunakan kebebasan yang Allah sediakan untuk hidup terperangkap oleh dusta. Mereka ini orang terikat, bukan bebas.

Sebagian besar pemikir bebas memeluk humanism, dan mendasari moralitas mereka pada kebutuhan jasmani, bukan barangsuatu yang mereka anggap absolut. Seringkali sudut pandang dunia mereka terdiri dari kesadaran tentang perawatan lingkungan hidup dan hewan, serta berkomitmen pada kesetaraan. Walaupun pemikir bebas berusaha melakukan apa yang mereka anggap benar, dan meskipun menjadi orang yang ramah, berusaha mendaur ulang sampah, dan menjunjung tinggi nilai kehidupan, upaya ini akan pada akhirnya gagal. Tidak akan pernah ada alasan yang cukup untuk melanjutkan semua upaya ini – atau persatuan antara pemikir bebas untuk menyepakati nilai yang benar atau salah – jika suatu kepercayaan hanya ada berdasarkan logika suatu individu. Selebihnya, perbuatan saleh jika dilakukan mandiri dari Roh Kudus di mata Allah bagaikan kain kotor (Yesaya 64:6). Semua perbuatan baik tidak mungkin melayakkan seseorang di hadapan Allah yang Maha Kudus. Segala upaya menghasilkan kebaikan di dunia ini tanpa Allah selalu ternoda oleh motivasi yang salah atau egois. “Kebaikan” insani diluar Kristus pada akhirnya sia-sia.

Di dalam karya tulis The Ethics of Belief, pakar matematika sekaligus filsuf William Kingdon Clifford merangkum kepercayaan pemikir bebas sebagai “adalah selalu salah, di semua tempat, dan bagi semua orang, untuk mempercayai apapun juga tanpa bukti yang cukup.” Memang benar mempercayai sesuatu tanpa bukti yang kuat merupakan kesalahan. Alkitab juga menghimbau supaya kita selalu menyediakan pembelaan atas iman kepercayaan kita (1 Petrus 3:15). Baik menurut sejarah, sains, dan penemuan arkeologis, Alkitab mampu menjawab pertanyaan dan menyediakan lebih dari cukup bukti atas kehandalannya (Lukas 1:1-4; Kisah 26:25-26). Alkitab berjanji bahwa jika kita mencari, kita akan menemukan (Matius 7:7-8). Ada lebih dari cukup bukti untuk mempercayai Alkitab. Mereka yang benar mencari kebenaran akan menemukannya dan akan dibebaskan oleh Allah yang adalah Kebenaran (Yohanes 14:6).

© Copyright Got Questions Ministries