Pertanyaan

Apa yang Alkitab katakan tentang hak-hak anak?

Jawaban
Hingga abad ke-20, tidak banyak yang dipikirkan tentang konsep hak-hak anak. Anak-anak pada dasarnya adalah milik orang tua, atau, dalam beberapa kasus, dianggap sebagai orang dewasa kecil dan dikirim untuk bekerja di pabrik-pabrik dan pertanian. Pada tahun 1924, Liga Bangsa-Bangsa mengadopsi Deklarasi Hak-hak Anak, dan pada tahun 1959, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi pernyataan serupa. UNICEF didirikan pada tahun 1946, dan selama bertahun-tahun, banyak upaya yang telah dilakukan oleh organisasi-organisasi di seluruh dunia dan masing-masing negara untuk mendefinisikan dan menegakkan hak-hak anak.

Alkitab tidak banyak berbicara tentang hak-hak anak, namun memberikan petunjuk kepada orang tua mengenai cara mendidik anak. Efesus 6:4 mengatakan, "bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan." Banyak hak-hak anak yang tertanam dalam perintah tersebut, tetapi fokusnya bukan pada anak, tetapi pada orang tua. Tuhan memberikan perintah yang kuat kepada orang tua untuk mendidik anak-anak mereka dan meminta orang tua bertanggung jawab untuk mengikuti perintah tersebut (Ulangan 6:1-2). Bahkan ketika anak-anak tumbuh dewasa, Tuhan mengharapkan orang tua untuk menetapkan batasan-batasan ketika mereka mampu melakukannya. Dalam 1 Samuel 3:13, Tuhan menegur Imam Eli karena anak-anaknya yang sudah dewasa berbuat jahat dan mengolok-olok rumah Tuhan. Eli mengetahui hal itu tetapi tidak menahan mereka.

Meskipun ide tentang hak-hak anak sebagai jaminan perlindungan hukum terdengar bagus, namun kenyataannya bisa menjadi bencana. Jika "hak-hak anak" termasuk hak untuk tidak didisiplinkan, maka aib dan kehinaan sudah di depan mata: "Tongkat dan teguran mendatangkan hikmat, tetapi anak yang dibiarkan mempermalukan ibunya" (Amsal 29:15). Banyak pendukung hak-hak anak ingin agar hak-hak tersebut menggantikan hak orang tua untuk "Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya" (Amsal 22:6). Sebagian besar deklarasi hak-hak anak menginjak-injak hak orang tua yang diberikan Tuhan, melanggar hak orang tua untuk mendisiplinkan anak sesuai keinginan mereka, memberikan pengajaran agama sesuai hati nurani, dan bahkan mendidik anak dengan cara yang mereka yakini benar untuk anak tersebut.

Banyak kasus di mana pengadilan, atas nama seorang anak di bawah umur, menghukum orang tua karena tidak mendukung operasi transgender, terapi hormon, atau prosedur mutilasi lainnya bagi seorang anak kecil, yang menyatakan bahwa anak tersebut memiliki "hak" untuk menentukan nasibnya sendiri. Meskipun setiap manusia harus diperlakukan dengan bermartabat dan hormat sebagai manusia yang diciptakan menurut gambar Allah (Kejadian 1:27), "hak-hak" khusus yang hanya berlaku untuk anak-anak harus dilihat dengan hati-hati.

Alih-alih hak-hak khusus, anak-anak justru diberikan instruksi dalam Alkitab. Tuhan memerintahkan anak-anak untuk "Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu" (Keluaran 20:12). Dalam Efesus 6:1 dan sekali lagi dalam Kolose 3:20, anak-anak diperintahkan untuk menaati orang tua mereka di dalam Tuhan, karena hal itu benar. Kita harus mencatat bahwa penyalahgunaan dalam bentuk apa pun tidak pernah tersirat atau dibenarkan dalam mandat kitab suci mana pun.

Karena Tuhan menciptakan keluarga dan mempercayakan anak-anak kepada orang tua, Dia tahu yang terbaik untuk membesarkan mereka (Mazmur 127:3). Ketika anak-anak dibesarkan dengan roh yang taat dan diajar untuk menghormati orang tua, mereka juga akan menjadi orang dewasa yang lebih baik. Kecuali dalam keadaan yang ekstrim, orang tualah, bukan negara, yang harus bertanggung jawab atas anak-anak. Tuhan memberikan anak-anak kepada ayah dan ibu, bukan pemerintah, terlepas dari seberapa baik pun sistem pengadilan yang ada.

Anak-anak biasanya tidak mengetahui atau memilih apa yang menjadi kepentingan terbaik mereka. Orang tua juga tidak selalu dapat memberikan "hak-hak" ini. Tergantung pada dokumen hak-hak anak tertentu, anak-anak dapat diberikan "hak" yang tidak mungkin diberikan. Sebagai contoh, seorang janda di Sudan yang kehilangan rumahnya karena teroris mungkin tidak dapat memberikan "hak" kepada anak-anaknya untuk mendapatkan makanan yang seimbang dan tempat tidur yang nyaman. Apakah ia kemudian melanggar hukum dengan memberi mereka remah-remah roti sementara mereka tidur di lantai tanah? Seberapa jauh penegakan hukum hak-hak anak ini berjalan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut layak dipertimbangkan secara serius ketika mencoba merancang undang-undang yang menjamin hak-hak tertentu bagi setiap anak, terlepas dari orang tuanya. Alkitab tampaknya tidak mendukung undang-undang semacam itu dan sebaliknya menasihati para ayah dan ibu untuk menjalankan tanggung jawab sebagai orang tua dengan serius, karena Tuhan meminta pertanggungjawaban mereka atas kesejahteraan anak-anak mereka.