settings icon
share icon
Pertanyaan

Bagaimana cahaya bintang-bintang yang jaraknya miliaran tahun cahaya dari bumi bisa sampai kepada kita padahal umur bumi baru ribuan tahun?

Jawaban


Satu tahun cahaya adalah jarak maksimum yang dapat ditempuh cahaya dalam satu tahun di ruang hampa. Artinya, dibutuhkan waktu miliaran tahun bagi cahaya untuk menempuh jarak miliaran tahun cahaya melalui ruang angkasa. Dari sudut pandang kita di Bumi, kita dapat melihat cahaya dari bintang-bintang yang berjarak miliaran tahun cahaya. Oleh karena itu, masuk akal untuk berasumsi bahwa alam semesta kita setidaknya berusia miliaran tahun—cukup tua untuk memberikan cukup waktu bagi cahaya dari bintang-bintang ini untuk mencapai planet kita yang berjarak miliaran tahun cahaya.

Asumsi masuk akal ini bertentangan dengan perspektif Bumi Muda (BM)/ Young Earth (YE), yang menyatakan bahwa alam semesta berumur kurang dari 10.000 tahun. Jika tidak ada alasan ilmiah yang kuat untuk perspektif BM, kontradiksi ini tidak perlu dipikirkan lagi. Namun, semakin banyak bukti yang mendukung pandangan BM cukup substansial untuk mendukung penyelidikan yang bijaksana mengenai apakah kontradiksi yang ada ini dapat diselesaikan secara wajar atau tidak. Jadi kita bertanya: Bagaimana cahaya bintang yang jaraknya miliaran tahun cahaya bisa mencapai bumi hanya dalam beberapa ribu tahun?

Dilatasi Waktu Gravitasi

Menurut Albert Einstein, semesta bukanlah “ketiadaan” kosong seperti yang kita bayangkan. Itu diisi dengan apa yang disebut Einstein sebagai eter. Eter dipahami sebagai medium elastis, tak bermassa, yang meliputi segalanya. Segala sesuatu yang ada dalam batas-batas alam semesta kita juga terjadi dalam medium tak bermassa ini.

Eter bersifat elastis, artinya dapat diregangkan dan diubah bentuknya. Untuk memvisualisasikannya, bayangkan sebuah kain yang diregangkan dengan ketat. Ini adalah eter. Sekarang bayangkan menjatuhkan bola yang berat (seperti bola bowling) ke atas kain, tepat di tengahnya. Hal ini akan menyebabkan kain melorot di bagian tengahnya. Bola yang berat mewakili materi padat, seperti planet kita. Einstein percaya bahwa materi menyebabkan ruang melorot, serupa dengan bagaimana bola yang berat menyebabkan kain yang diregangkan menjadi melorot. Lengkungan di ruang angkasa ini dikenal sebagai sumur gravitasi.

Sekarang, jika kita meletakkan bola-bola yang lebih kecil dan ringan (seperti kelereng) di atas kain bersama dengan bola yang berat, maka bola-bola tersebut akan menggelinding ke tengah, ke dalam lengkungan yang disebabkan oleh bola yang berat. Selain itu, bahan-bahan tersebut akan menyebabkan kendornya kain secara keseluruhan, meskipun jika hanya sedikit tetap ada pengaruhnya. Gerakan menuju pusat ini melambangkan gravitasi. Menurut pandangan Einstein tentang gravitasi, jika materi yang lebih kecil dan lebih ringan berada cukup dekat, maka materi tersebut dapat ditarik ke dalam lubang gravitasi materi yang lebih besar dan lebih padat. Meskipun masing-masing sumur menciptakan kemiringannya sendiri di ruang angkasa, beberapa sumur gravitasi lebih dalam dan lebih berpengaruh dibandingkan sumur lainnya (artinya, sumur tersebut menghasilkan gaya gravitasi yang lebih kuat). Satu kesamaan yang mereka miliki: mereka mengubah waktu.

Pada tahun 1960-an, fisikawan Robert Pound dan Glen Rebka secara eksperimental mengkonfirmasi konsekuensi teoritis dari Teori Relativitas Einstein yang disebut Efek Dilatasi Waktu Gravitasi (Gravitational Time Dilation Effect - GTDE). Pound dan Rebka mampu mendemonstrasikan bahwa waktu berlalu lebih lambat untuk objek yang semakin jauh memasuki sumur gravitasi. Misalnya, satelit Global Positioning System (GPS) berada lebih jauh dari bumi dibandingkan objek di permukaan planet, sehingga kurang terbenam dalam sumur gravitasi yang disebabkan oleh massa bumi. Hasilnya adalah waktu berlalu sedikit lebih cepat bagi satelit GPS kita dibandingkan dengan kita di permukaan, karena kita berada jauh di dalam sumur gravitasi bumi. Jam atom di satelit dan di Bumi telah digunakan untuk mendeteksi dan mengukur perbedaan laju perjalanan waktu.

Demikian pula jam atom di Greenwich, Inggris (di permukaan laut), mencatat laju waktu yang lebih lambat dibandingkan jam atom di Boulder, Colorado (di ketinggian 5.430 kaki di atas permukaan laut). Pada perbedaan ketinggian yang relatif kecil ini, dampak yang dapat diukur pun kecil. Tapi dampak di seluruh alam semesta bisa jauh lebih dramatis. Semakin dalam sumur gravitasi, semakin kuat GTDE-nya. Faktanya, menurut Relativitas Umum, waktu sebenarnya berhenti di batas lubang hitam—sebuah area yang oleh para ilmuwan dikenal sebagai “horizon peristiwa”, yang gravitasinya begitu kuat sehingga cahaya pun tidak dapat lepas (karena itulah dinamakan “lubang hitam”).

Sekarang, mari kita kesampingkan sejenak GTDE dan pertimbangkan fenomena astronomi penting lainnya: pergeseran merah bintang. Pergeseran merah adalah fenomena efek Doppler di mana panjang gelombang radiasi (seperti cahaya bintang) memanjang ketika semakin menjauh dari pengamatan. Konsensus umum di kalangan astronom adalah bahwa pergeseran merah bintang yang diamati menunjukkan bahwa alam semesta mengembang (Hubble’s Law). Dengan mengekstrapolasi perluasan ini ke belakang, menjadi jelas bahwa alam semesta purba lebih padat, lebih berisi dibandingkan saat ini.

Dalam alam semesta terbatas dimana materi mempunyai pusat dan tepi, kompresi material seperti dijelaskan di atas akan memperdalam sumur gravitasi yang disebabkan oleh gabungan massa alam semesta. Hal ini akan mengintensifkan GTDE, menyebabkan waktu berlalu jauh lebih lambat di dekat pusat alam semesta (lebih dalam di dalam sumur) dibandingkan di dekat tepinya (lebih dekat dengan permukaan sumur).

Implikasinya sungguh paradoks: bahkan jika seluruh alam semesta diciptakan sekaligus pada awalnya (dan karena itu usianya harus sama), beberapa bagian bisa jadi jauh lebih muda dibandingkan bagian lainnya karena sifat relativitas waktu. Cahaya dapat menempuh jarak miliaran tahun cahaya selama miliaran tahun di beberapa bagian alam semesta dalam jangka waktu yang kita anggap jauh lebih singkat di Bumi. Ketika alam semesta mengembang dan materi menyebar melintasi ruang angkasa, sumur gravitasi universal secara bertahap akan merata, sehingga mengurangi laju perbedaan waktu di seluruh alam semesta.

Banyak ahli astrofisika dan astronom menolak gagasan tentang alam semesta yang dibatasi oleh galaksi kita, Bima Sakti, di dekat atau sebagai pusatnya. Namun ini hanyalah anggapan filosofis, bukan kesimpulan ilmiah yang didasarkan pada data empiris. Seperti yang dijelaskan dengan jujur ​​oleh ahli astrofisika terkenal dunia Dr. George F. R. Ellis, “Masyarakat perlu menyadari bahwa ada serangkaian model yang dapat menjelaskan pengamatan tersebut. Misalnya, saya dapat membuatkan Anda sebuah alam semesta berbentuk bola simetris dengan Bumi sebagai pusatnya, dan Anda tidak dapat menyangkalnya berdasarkan pengamatan... Anda hanya dapat menolaknya atas dasar filosofis. Menurut saya, sama sekali tidak ada yang salah dengan hal itu. Apa yang ingin saya ungkapkan adalah kenyataan bahwa kita menggunakan kriteria filosofis dalam memilih model kita. Banyak kosmologi mencoba menyembunyikan hal itu.” (W. Wayt Gibbs, “Profile: George F.R. Ellis,” Scientific American, Oktober 1995, Vol. 273, No.4, hal. 55)

Ringkasnya, Efek Dilatasi Waktu Gravitasi adalah solusi teoretis terhadap masalah bumi muda (BM) mengenai cahaya bintang jauh yang, secara menakjubkan, menggabungkan bukti keberadaan Bumi muda dengan bukti keberadaan alam semesta tua. Banyak ahli astrofisika dan astronom menolak salah satu anggapan dasar utama yang mendasari penjelasan GTDE (alam semesta terbatas dengan Bima Sakti di dekat atau sebagai pusatnya), bukan karena data yang dapat diamati namun karena perspektif filosofis mereka.

English



Kembali ke halaman utama dalam Bahasa Indonesia

Bagaimana cahaya bintang-bintang yang jaraknya miliaran tahun cahaya dari bumi bisa sampai kepada kita padahal umur bumi baru ribuan tahun?
Bagikan halaman ini: Facebook icon Twitter icon Pinterest icon Email icon
© Copyright Got Questions Ministries